BI Beli SBN Senilai Rp40,77 tiliun untuk Dukung Kebijakan Fiskal Pemerintah; Penerapan Burden Sharing Memiliki Kelemahan
Gedung Bank Indonesia. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

Bank Indonesia (BI) membeli Surat Berharga Negara (SBN) untuk mendampingi kebijakan fiskal pemerintah. Pembelian ini juga merupakan bentuk perpanjang pada langkah yang sudah dilakukan BI tahun sebelumnya.

Pada tahun 2020, bank sentral telah membeli SBN dari pasar perdana senilai Rp473,42 triliun. Pembelian tersembut bertujuan untuk membantu pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.

Tahun ini, otoritas moneter sepakat untuk melanjutkan kebijakan serupa guna menyokong keuangan negara. BI membeli SBN senilai Rp40,77 triliun, hingga 16 Februari 2021.

Pembelian dilakukan dalam dua skema. Skema yang digunakan ialah melalui melalui mekanisme lelang utama sebesar Rp18,16 triliun dan mekanisme Greenshoe Option (GSO) sebesar Rp22,61 triliun.

“Bank Indonesia terus menerapkan kebijakan moneter akomodatif untuk berjalan selaras dengan kebijakan fiskal pemerintah agar mendorong pemulihan ekonomi nasional, dan menjaga kondisi likuiditas di perbankan dan pasar keuangan tetap baik,” papar Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers daring, 19 Februari.

Perry menambahkan, kondisi likuiditas yang longgar pada Januari 2021 telah mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yakni 31,64 persen dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang tinggi sebesar 10,57 persen secara tahunan.

Keputusan Bersama Menkeu dan BI

Adapun, langkah tersebut tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada 16 April 2020, sebagaimana telah diperpanjang pada 11 Desember 2020 dengan termin waktu hingga 31 Desember 2021.

Untuk diketahui, cara Bank Indonesia untuk turut serta dalam mendukung operasi fiskal pemerintah dikenal dengan istilah burden sharing. Melalui cara ini, negara bisa mendapatkan alternatif pembiayaan secara instan dengan risiko yang cenderung bisa dikelola.

Kelemahan Burden Sharing

Namun, burden sharing mempunyai kelemahan, yakni dapat menyebabkan hyperinflation alias inflasi yang sangat tinggi jika bank sentral terlalu banyak membeli surat utang pemerintah. Sebab dengan memborong surat utang, berarti membanjiri pasar dengan jumlah uang beredar yang sangat banyak (banjir likuiditas).

Alhasil inflasi melonjak dan harga mata uang akan turun dibandingkan sebelumnya. Indonesia pernah mengalami hyperinflation pada 1965. Kala itu, disebutkan bahwa inflasi meroket hingga 600 persen. Pemerintah dan BI sendiri sepakat untuk menjaga inflasi di kisaran level 3 persen plus minus 1 persen.

Ikuti Terus berita dalam negeri dan luar negeri terbaru dari VOI.